LAPORAN
PRAKTIKUM
ILMU
TILIK TERNAK
Oleh:
Kelompok II
Dewi Suryani E1C012005
Milleni okta erika E1C012100
Budiono E1C012052
Irwan Nurdiansyah E1C012040
Angriawan Muhammad Nur E1C012042
Rahmad Fendi Adi Saputra E1C012096
Benarico Sinaga E1C012093
Adilamen E1C012111
JURUSAN
PETERNAKAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
BENGKULU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu Tilik
adalah alat bantu dalam melaksanakan program seleksi ternak dalam rangka
perbaikan mutu genetic sekelompok ternak. Untuk memperbaiki mutu genetic
sekelompok ternak maka diperlukan program seleksi.Morfologi sapi berbeda-beda
begitu pula pada hasil produksinya. Sapi perah bentuk morfologinya segitiga,
jika dilihat pada bagian samping dan hasil produksinya susu; sapi potong bentuk
morfologinnya segiempat dan hasil produksinya berupa daging; sapi dwiguna yaitu
gabungan dari sapi yang dipekerjakan dan sapi yang dikomsumsi dagingnnya.
Pemuliaan
ternak dalam usaha seleksi maupun kontes, mutlak diperlukan pelaksanaan
pengukuran dengan cara, cara tempat, peralatan yang tepat dengan pelaksana yang
professional yaitu yang telah memiliki pengetahuan tentang bagian tubuh
ternak,mengetahui batasan dan standart ideal, melakukan penilaian dan pemilihan
dengan baik ,ketat ,jujur dan sungguh-sungguh.
Pada
dasarnya penilaian dilakukan dengan dua sistem ialah secara visual (subyektif)
disini amat diperlukan bakat dan seni dari masing-masing penilai
atau juri, bakat disertai dengan pengalaman akan dapt menghasilkan nilai yang
mendekati keadaan yang sebenarnya. Dalam tahap penilaian ini ternak harus
dinilai dari samping ,belakang,depan,saat berjalan dan perabaan dimana nilainya
masing-masing dalam kartu nilai ( score card ) yang telah ditetapan. Sistem
kedua adalah penilaian secara obyektif yaitu nilai statistic vital antara
lain dengan pengukuran linier antara lain berat badan,
umur,lingkaran,panjang,lebar dan tinggi masing-masing ternak tersebut.
1.2 Tujuan
a.
Mengetahui sifat kualitatif dan
sifat kuantitatif pada ternak sapi
b.
Mahasiswa mampu melakukan penilaian
pada penjurian dalam kontes ternak
c.
Mahasiswa dapat menganalisa
penentuan juara dalam kontes ternak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kemampuan produksi sapi potong dapat
digambarkan dari pertumbuhannya. Pertambahan bobot badan sebagai
refleksi pertumbuhan dapat diketahui dengan menimbang berat badan. Mengetahui
bobot badan ternak merupakan suatu hal yang sangat penting antara lain untuk
menduga produksi daging dan persentase karkas yang dihasilkan, harga jual,
pemilihan bibit, kebutuhan pakan dan pemberian dosis obat yang tepat.
Cara yang paling akurat untuk
mengetahui bobot badan ternak dapat dilakukan dengan menimbang ternak secara
langsung, namun dalam praktek penimbangan ternak besar seperti sapi
memerlukan kerja ekstra dan alat timbangan ternak yang cukup mahal dan relatif
sulit terutama di daerah pedesaan dengan keadaan topografi yang sulit dijangkau
dengan alat transportasi.
Oleh karena itu untuk mengatasi hal
tersebut perlu dicari cara lain yang lebih murah dan praktis yaitu dengan
pendugaan bobot badan ternak melalui pendekatan terhadap hubungan antara satu
atau lebih ukuran bagian tubuh ternak dengan bobot badannya dan pendugaan bobot
karkas berdasarkan bobot hidup ternak. (Trimeldus Tulak Tonbesi et al.)
Cara yang tepat dalam menentukan
umur pada ternak yaitu dengan cara melihat catatan kelahiran pada ternak, namun
hal ini sulit dilakukan dalam praktek. Dan jika mengetahui dengan pertumbuhan
tanduk, biasanya tidak pasti kebenarannya.
Yang paling umum dilakukan dalam
menentukan umur yaitu dengan cara melihat keadaan dan pertumbuhan gigi. Karena
pertumbuhan, pergantian dan pergeseran dari gigi terjadi pada umur-umur
tertentu dan tiap jenis ternak agak serupa sehingga mudah diikuti dan hampir
dapat dipercaya kebenarannya (Sastramidjoyo et al, 1982).
Taksiran dengan Metode Gigi
Gigi sulung yaitu gigi pada
anak-anak yang nantinya akan berganti, sedangkan Gigi tetap adalah pengganti
gigi sulung yang mulai tumbuh pada ternak menjelang dewasa. Penafsiran umur
dengan melihat perkembangan dan pergantian gigi seri serta terasahnya gigi seri
(permanen). Pada pedet terasahnya gigi tidak seberapa karena makanannya hanya
diberi air susu, sedangkan pada sapi dewasa terasahnya lebih banyak karena
pakannya dalam bentuk keras (Poespo, 1986).
Hewan yang cukup umur akan
menghasilkan daging yang berprotein tinggi dengan kadar asam amino yang
lengkap, mudah dicerna, begitu pula teksturnya empuk. Sedangkan ternak yang
belum cukup umur akan menghasilkan daging yang lembek dan menyebabkan rasa
daging relatif tidak lezat. (Tabrany,2001)
Menurut
Supiyono (1995), eksterior atau tilik ternak adalah suatu ilmu yang mempelajari
bentuk-bentuk tubuh dari luar untuk menentukan atau meramalkan prestasi dari
suatu ternak. Sesuai tujuan pemeliharaan sekaligus untuk menilai tingkat
pemurnian bangsa ternak dan merupakan alat bantu pelaksanaan program seleksi
ternak dalam rangka perbaikan mutu genetik kelompok ternak.
Untuk
menentukan bakalan yang akan dipilih dalam usaha penggemukan, dapat ditentukan
berdasarkan penampilan sapi dengan melakukan penilaian/scoring.
Dimana dengan skor tubuh (1) terlihat tidak adanya lemak pada
pangkal ekor dan iga pendek, sapi dengan penampilan seperti itu dapat dikatakan
terlalu kurus, bermutu rendah dan mungin sebelumnya pernah sakit. Sapi dengan iga
pendek terlihat dan terasa sudah agak tumpul, pada pangkal ekor terhadap
sedikit lemak mendapatkan skor tubuh (2), dengan mutu yang cukup.Sapi dengan
skor tubuh (3), iga pendek sulit untuk dirasakan, pangkal ekor mulai gemuk, dan
kantong pelir sudah mulai terisi. Sapi dengan skor tubuh (4), telah mencapai
tingkat gemuk sehingga penambahan berat badan selanjutnya akan menjadi mahal
dan tidak menguntungkan (Nguntoronadi, 2010).
Penilaian
ini untuk menentukan tingkat dan kualitas akhir melalui perabaan yang dirasakan
melalui ketipisan, kerapatan, serta perlemakannya. Bagian-bagian daerah
perabaan pada penilaian (judging) ternak sapi meliputi ; bagian rusuk,
bagian Tranversusprocessuspada tulang belakang, bagian pangkal
ekor, bagian bidang bahu. Penilaian tersebut dilakukan pada setiap individu
ternak sapi yang akan dipilih dengan cara mengisihkan skor yang sesuai dengan
penilaian melalui pengamatan, pandangan dan perabaan. Dalam hal ini penilaian
harus dilakukan sesubjektif mungkin.Untuk menunjang hasil yang lebih akurat,
penilaian tersebut lazimnya dilengkapi lagi dengan pengukuran bagian-bagian
tubuh yaitu tinggi pundak/ gumba, panjang badan, lingkar dada dan dalam dada
(Todingan, 2010).
Pendugaan
Bobot Badan
Penafsiran berat badan sangat
penting dilakukan oleh para pemilik ternak untuk mengetahui bobot tubuh ternak.
Cara ini merupakan cara lain untuk mengetahui berat badan ternak selain
penimbangan berat badan. Apabila setiap kali harus selalu dilakukan
penimbangan, hal ini dirasa kurang praktis di samping timbangan itu jumlahnya
terbatas.( Hasnudi. 1997)
Rumus penentuan berat badan sapi
berdasar ukuran tubuh bertolak dari anggapan bahwa tubuh ternak sapi berupa
tong.Oleh karena itu, ukuran tubuh yang digunakan untuk menduga bobot tubuh
biasanya adalah panjang badan dan lingkar dada. Menurut Gafar (2007),
rumus-rumus yang dapat digunakan untuk menduga bobot badan adalah Rumus yang
telah dikenal adalah rumus Schoorl yang mengemukakan pendugaan bobot ternak sapi berdasarkan
lingkar dada sebagai berikut :
Bobot badan (kg) = (lingkar dada (cm) + 22)2
100
Rumus lain diturunkan oleh Scheiffer
yang telah menggunakan lingkar dada dan panjang badan dalam pendugaannya. Rumus
itu sebagai berikut :Bobot badan (lbs) =
Lingkar dada (inchi)2 x Panjang badan (inchi)
Selain itu penafsiran berat badan
dapat pula dilakukan dengan pengamatan visual yaitu memperkirakan berat badan
ternak yang diamati. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan
DWT (Daily Cow Weighting Tape) yaitu
dengan melingkarkan DWT pada sternum 3-4 dan angka yang ditunjuk pada pita ukur
itu menunjukkan berat badan ternak. Cara penafsiran yang merupakan cara untuk
mengetahui berat badan ternak adalah penimbangan. Penimbangan dilakukan dengan
menggunakan timbangan ternak / neraca.Besar atau kecil, stationer atau
portabel, timbangan merupakan bagian yang sangat diperlukan dalam tehnik-tehnik
pengukuran. (Hasnudi. 1997)
Metode visual adalah suatu metode
yang digunakan untuk menafsir berat badan dengan melihat, mengamati keadaan
sapi dengan baik, kemudian kita menafsir berat sapi tersebut.Metode ini perlu
kejelian dan latihan yang banyak supaya taksirannya hampIr mendekati benar.Dan
juga metode ini banyak dipakai oleh para pedagang hewan (Hasnudi. 1997).
Pengukuran Tubuh Sapi Bali
Menurut Djagra, I.B : 2009, Pengukuran
ukuran tubuh ternak sapi dipergunakan untuk menduga bobot badan seekor ternak
sapi dan sering kali di pakai juga sebagai parameter teknis penentuan sapi
bibit dan menentukan umur sapi tersebut.
Berdasarkan
ketentuan kontes dan pameran ternak nasional, yang termasuk dalam “statistik
vital” pada ternak sapi meliputi ukuran tinggi gumba, panjang badan, lingkar
dada, lebar dada, dalam dada, lebar punggung, lebar pinggul, panjang pinggul,
panjang kepala, lebar kepala, berat badan, dan umur.
Ukuran
“statistik vital” dari organ tertentu jika dikaitkan dengan umur akan
menggambarkan keharmonisan perkembangan tubuh dan produktivitas (pertumbuhan).
Karena itu, pertumbuhan organ-organ tertentu berkorelasi dengan berat badan. Pengukuran dimensi dimaksudkan pelaksanaan dengan mengukur
dimensi tubuh luar ternak atau ukuran statistic. Menurut Djagra, 2009 adalah sebagai berikut :
1. Ukuran Tinggi :
a.
Tinggi Pundak, tinggi gumba ialah
jarak tegak lurus dari titik tertinggi pundak sampai ketanah atau lantai, alat
yang digunakan adalah tongkat ukur.
b.
Tinggi punggung ialah jarak tegak
lurus dari taju duri ruas tulang punggung atau processus spinosus vertebrae
thoracaleyang terakhir sampai ke tanah .Titik ini mudah didapat dengan menarik
garis tegak lurus tepat diatas pangkal tulang rusuk terakhir.
c.
Tinggi pinggang ialahjarak tegak lurus dari titik antara
tulang lumbar vertebrae 3-4, tepat melalui legok lapar sampai ke tanah ( lantai
).
d.
Tinggi pinggul ialah jarak tegak
lurus dari titik tertinggi pada os sacrum pertama sampai ke tanah.
e.
Tinggi kemudi, jarak tegak lurus
dari os sacrum ( sacrale ), tepat melalui tengah- tengah tulang ilium sampai ke
tanah.
f.
Tinggi pangkal ekor ialah jarak
tegak lurus dari titik pangkal ekor, sampai ke tanah.
Alat yang dipakai untuk mengukur tinggi bagian- bagian tubuh
diatas adalah tongkat ukur.
2. Ukuran Panjang :
a.
Panjang kepala jarak dari puncak
kepala sampai ujung moncong.
b.
Panjang badan ; diukur secara lurus
dengan tongkat ukur dari siku ( humerus ) sampai benjolan tulang tapis ( tuber
ischii ).
c.
Panjang menyilang badan, jarak yang
diukur antara tulang benjolan bahu
sampai tulang duduk disisi lainnya. Diukur dengan memakai pita ukur.
d.
Panjang kemudi; panjang kelangkang;
panjang pelvis, jarak antara tuber coxae dan tuber ischii pada sisi sama.
e.
Panjang telinga, jarak antara ujung
telinga sampai pangkal telinga bagian dalam. Dapat diukur dengan penggaris atau
pita ukur.
f.
Panjnag tanduk, diukur dengan pita
ukur. Jarak antara ujung tanduk sampai kedasar tanduk.
Selain yang telah disebutkan alat- alatnya, dapat juga
digunakan tongkat ukur, jangka sorong atau caliper
.
3. Ukuran Lebar :
a.
Lebar dada, jarak terbesar pada yang
diukur tepat dibelakang antara kedua benjolan siku luar, yaitu tepat pada
tempat mengukur lingkar dada.
b.
Lebar pinggang, jarak diukur antara
taju horizontal yaitu pada tulang lumbale 3-4.
c.
Lebar pinggul, jarak antara tuber
coxae pada sisi kiri dan kanan.
d.
Lebar kemudi, jarak terlebar antara
sisi luar kiri dan kanan tulnag pelbis atau os illium melalui os sacrum 3-4.
e.
Lebar pantat, lebar tulang tapis
atau lebar tulang duduk, jarak antara kedua benjolan tuber ischii kiri dan
kanan.
f.
Lebar kepala, jarak terbesar antara
kedua lengkungan tulang mata sebelah atas luar kiri dan kanan
4. Ukuran Dalam :
Dalam dada. Jarak titik tertinggi pundak ( gumba ) sampai
tulang dada dan diukur melalui serta merta dibelakang siku.
5. Ukuran Lingkar :
a.
Lingkar dada. Lingkaran yang diukur
pada dada serta merta atau persis dibelakang siku, tegak lurus dengan sumbu
tubuh.
b.
Lingkar perut .lingkaran yang diukur
di daerah perut.yang memliki lingkaran besar, melalui serta merta di belakang
tulang rusuk terakhir dan tegak lurus dengan sumbu tubuh.
c.
Lingkar flank. Lingkaran yang diukur
di daerah flank, melalui tuber coxae serta merta depan ambing atau skrotum.
d.
Lingkar pantat, lingkar round. Lingkaran yang diukur pada pantat,
dari tulang patella kiri sampai tulang patella kanan, kearah belakang serta
membentuk penampang sejajar dengan lantai.
e.
Lingkar tulang pipa. Lingkaran yang
diukur ditengah- tengah tulang pipa, yaitu pada bagian yang terkecil dan
terbulat.
f.
Lingkar skrotum. Lingkaran yang
diukur pada bagian terbesar skrotum; terlebih dulu skrotum telah ditarik kearah
bawah sehingga terdapat kedua testesnya.
g.
Lingkar tubuh.
h.
Lingkar mulut, lingkar moncong.
Lingkaran yang diukur tepat pada akhir sudut bibir, ialah pada batas antara
kepala dan moncong.
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ternak.
Tumbuh - kembang dipengaruhi oleh
faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon, lingkungan dan manajemen.
Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan sebelum lepas sapih adalah genotipe, bobot
lahir, produksi susu induk, jumlah anak perkelahiran, umur induk, jenis kelamin
anak dan umur sapih .
Laju pertumbuhan setelah disapih
ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain potensi pertumbuhan dari
masing-masing individu ternak dan pakan yang tersedia .Potensi pertumbuhan
dalam periode ini dipengaruhi oleh faktor bangsa, heterosis (hybrid vigour)
dan jenis kelamin. Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen
(pengelolaan) yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dan iklim (Santosa.
2008).
a.
Pakan.
Pakan yang berkualitas dan dalam jumlah yang optimal akan
berpengaruh baik terhadap kualitas daging. Perlakuan pakan dengan NPB akan
meningkatkan daya cerna pakan terutama terhadap pakan yang berkualitas rendah
sedangkan pemberian VITERNA Plus memberikan berbagai nutrisi yang dibutuhkan
ternak sehingga sapi akan tumbuh lebih cepat dan sehat.
b.
Faktor Genetik.
Ternak dengan kualitas genetik yang baik akan tumbuh dengan
baik/cepat sehingga produksi daging menjadi lebih tinggi.
c.
Jenis Kelamin dan Umur.
Ternak jantan tumbuh lebih cepat
daripada ternak betina, sehingga pada umur yang sama, ternak jantan mempunyai
tubuh dan daging yang lebih besar dari pada ternak betina.
d.
Manajemen.
Pemeliharaan dengan manajemen yang baik membuat sapi tumbuh
dengan sehat dan cepat membentuk daging, sehingga masa penggemukan menjadi
lebih singkat.
e.
Lingkungan
Lingkungan suhu dan udara yang tidak sesuai dengan kondisi
sapi akan mengakibatkan sapi menjadi stress dan mempengaruhi pertumbuhan sapi.
Kambing
Diperkirakan ternak kambing merupakan hewan yang kedua didomestifikasi
setelah anjing. Menurut Williamson dan Payne (1993) kambing ada lima spesies:
Capra Hircus, kambing sebenarnya, termasuk Bezoar (Capra Hircus dan Aegagrus),
Capra Ibex; Capra Cuacasica. Tur caucasia; Capra Pyrenaica, Ibex Spanyol; Capra
Falconeri, Makhor.
Kambing
yang kita kenal sekarang ini, diperkirakan diturunkan dari tiga jenis kambing
liar; Capra Hircus, berasal dari daerah Pakistan dan Turki. Capra Falconeri,
berasal dari daerah sepanjang Kasmir. Capra Prisca, berasal dari daerah sepanjang
Balkan (Sosroamidjojo, 1985).
Menurut
Sumaprastowo (1980),kambing mempunyai sifat yang lebih lincah dan sanggup
membela diri dengan berkelahi. Beberapa dari bangsa kambing berjenggot dan
mempunyai kulit dibagian telinga, kambing jantan mempunyai bau yang khas dan
tajam dibanding kambing betina.
Mulyana
(1982), mengemukakan karena adanya modifikasi (penyesuaian bentuk luar tubuh
terhadap lingkungan) maka sekarang kita mengenal dari bentuk yang kita lihat
dan pelihara. Kambing yang ada di Indonesia sekarang berasal dari: (1) kambing
asli yang diternakkan turun-temurun, (2) kambing impor yang diturunkan secara
murni, (3) kambing impor yang disilangkan dengan kambing asli Indonesia.
Kambing
kacang merupakan hewan pememah biak berkuku genap dan hampir semuanya merupakan
hewan pegunungan yang suka hidup di lereng-lereng curam serta gemar sekali
mencari hijauan dedaunan yang terletak disebelah atas (Sarwono, 1991). Lebih
lanjut Devendra (1974) menyatakan bahwa kambing sanggup hidup dan berkembang
biak di daerah-daerah kering atau lembab serta dapat hidup dengan pakan yang
rendah kualitasnya.
Tanda-tanda
kambing kacang adalah badan kecil, warna bulu kebanyakan coklat belang hitam,
hitam adakalanya putih, bulunya pendek dan kalau dipelihara dengan baik bulunya
akan mengkilap (Sosroamidjojo 1973, Soedjai 1975 dan Rumich 1976). Sedangkan
menurut Natasasmita (1978) tanda-tanda kambing kacang ialah garis profil lurus
atau cekung, daun telinga pendek dengan sifat berdiri tegak mengarah kedepan
dengan panjang lebih kurang 15 cm, sedangkan pada yang betina lebih kurang 8
cm. Pada kambing betina bulunya pendek kecuali pada bagian ekornya tumbuh pula
bulu panjang pada dagu (jenggot), tengkuk,pundak dan punggung sampai ekor dan
paha sebelah belakang warnanya adalah putih, hitam dan cokelat, kebanyakan
kambing ini berwarna campuran dari kedua atau ketiga warna tersebut. Tinggi
kambing kacang jantan berkisar antara 60-65 cm dan kambing kacang betina
berkisar 54-58 cm, sedangkan bobot kambing kacang jantan berkisar 25-30 kg dan
betinanya 20-25 kg.
Bobot hidup
Menurut
Forrest et al. (1975) menyatakan
dengan meningkatnya bobot hidup maka bagian-bagian tubuh juga meningkat.Bobot
hidup adalah bobot badan yang ditimbang sebelum dilakukan pemotongan setelah
pemuasaan selama 12-24 jam (Natasasmita, 1978).Dinyatakan oleh Devendra dan Burns
(1994), berat hidup kambing kacang berkisar dari 12,9 sampai 24,7 kg pada yang
jantan dan antara 11,2 sampai 19,7 kg pada yang betina.
Menurut
Soeparno (1998) bahwa untuk mencapai bobot hidup dari seekor ternak dalam
pertumbuhannya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, genetik, jenis
kelamin, bangsa, makanan, temperature dan pengangkutan.
Bobot Daging Karkas dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Bobot
karkas adalah bobot karkas setelah dipotong dikeluarkan seluruh tulang
belulangnya (Natasasmita, 1978).Daging merupakan komponen utama karkas yang
mempunyai nilai ekonomis sekaligus merupakan faktor utama penentu
kualitas/bobot karkas.Mukhtar (1975) mengemukakan bahwa persentase karkas terhadap
bobot hidup rata-rata kambing jantan adalah 45, 75 ± 0, 31 % dan betinanya 44,
15 ± 0, 78 %.
Adapun
fakto-faktor yang mempengaruhi bobot karkas. Menurut Soeparno (1995) bahwa
untuk mencapai bobot hidup dari seekor ternak dalam pertumbuhannya dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti:
1. Bangsa Ternak
Menurut
Anderson dan Kisser (1963), bahwa karkas kambing sangat berbeda dengan karkas
domba. Bila dibandingkan dengan domba, ternak kambing menghasilkan karkas lebih
tinggi perunit bobot badan dengan kandungan lemak yang lebih rendah.
Menurut Holmes et al. (1982) bobot badan seekor ternak
dipengaruhi oleh faktor bawaan dan faktor lingkungan.
2. Umur
Umur ternak
mempengaruhi bobot badan dan bobot karkas dari seekor ternak, selanjutnya
dikatakan oleh Williamson dan Payne (1993), makin dewasa seekor ternak makin
bertambah berat hidupnya sampai dewasa lalu berkurang beratnya karena kondisi
makin menurun. Parakkasi (1998) menyatakan bahwa
ternak dalam keadaan normal bobot badan dewasa akan dicapai pada umur tertentu,
jadi faktor umur erat hubungannya dengan bobot atau ukuran badan. Menurut Burton
dan Reid (1970) yang dilaporkan dalam Soeparno (1998), bahwa variasi komposisi
tubuh sebagian besar didominasi oleh variasi berat tubuh dan sebagian kecil
dipengaruhi oleh umur.
3. Jenis Kelamin
Williamson dan
Payne (1959) menyatakan faktor kelamin lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan
ternak, terutama pada hewan mamalia jantan dimana hewan yang jantan lebih besar
dan lebih berat apabila dibandingkan dengan hewan betina.
4. Pakan
Pakan
adalah faktor yang penting untuk pertumbuhan karena adanya pemberian pakan yang
baik dan cukup, maka badan ternak tersebut akan bertambah bobot badannya
(Maynard dan Loossly. 1956). Selanjutnya dijelaskan bahwa zat-zat makanan yang terkandung
dalam bahan makanan mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan kemampuan berproduksi
dibutuhkan pakan yang bernilai gizi tinggi.
5. Temperatur
Williamson dan
Payne (1978) bahwa temperatur yang tinggi membuat ternak berkurang nafsu
makanannya sedangkan nafsu minumnya bertambah, proses produksi menurun dan
akhirnya terjadi penurunan bobot ternak.
6. Kondisi Tubuh
Kondisi tubuh
mempunyai hubungan yang erat dengan bobot hidup dan bobot karkas. Ternak yang
berkondisi tubuh gemuk mempunyai bobot hidup dan bobot karkas yang lebih tinggi
daripada ternak yang berkondisi tubuh sedang dan berkondisi kurus pada umur dan
jenis kelamin yang sama (Natasasmita, 1979).
7. Pengangkutan
Adalah
problem yang harus diperhatikan dalam tata niaga ternak (Mosher, 1965). Ditambahkan
oleh Ensminger (1969) bahwa penyusutan badan ternak yang diakibatkan
pengangkutan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingkat kekenyangan,
jenis dan kualitas makanan yang diberikan selama pengangkutan jarak, alat, lama
pengangkutan, cuaca, umur, bobot badan ternak ketika diangkut, jumlah dan jenis
ternak pada alat pengangkut serta perlakuan para petugas yang mengangkut ternak
tersebut, baik ketika diangkut maupu sewaktu akan dipotong.
8. Penentuan Kondisi Tubuh Ternak
Menurut Suwarno (1980), dalam
penentuan kondisi tubuh ternak ditetapkan menurut gambaran keseluruhan tubuh,
terutama dengan memperhatikan tonjolan rusuk, tulang panggul, kecekungan lapar
dan perdagingan di daerah bahu, pinggang dan paha. Natasasmita (1979),
menyatakan kondisi tubuh ternak dapat digolongkan pada kondisi gemuk apabila
semua tulang rusuk tidak ada yang kelihatan menyembul keluar, lekuk lapar tidak
begitu jelas terlihat dan bila diraba pada pangkal ekor terasa lipatan tebal
yang mengandung banyak lemak.Apabila sebagian atau tiga buah tulang rusuk
kelihatan menyembul keluar dan lipatan pada bagian pangkal ekor tidak terlalu
tebal maka pada kondisi ini digolongkan pada kondisi sedang.Selanjutnya bila
penonjolan tulang rusuk dan tulang panggul jelas sekali terlihat serta lekuk
laparnya sangat cekung digolongkan pada kondisi kurus.
9.
Penentuan Umur Ternak
Ternak
kambing mempunyai empat pasang (8 buah) gigi seri. Gigi seri susu mulai tumbuh
pada saat ternak kambing lahir. Setelah anak berumur satu bulan barulah lengkap
giginya pada umur tertentu, gigi seri susu akan tanggal dan diganti dengan gigi
seri tetap proses tanggal dan pergantian gigi seri ini yang dapat dipakai untuk
patokan dalam melakukan penaksiran umur (Rangkuti, 1989).
Untuk menentukan umur biasanya dilakukan
dengan melihat susunan gigi, dimana gigi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
gigi seri dan geraham. Gigi juga dapat dibagi menjadi dua jenis menurut
pembentukkannya yaitu gigi susu (temporer) dan gigi tetap (permanen). Gigi seri
susu dan tetap hanya ditemukan pada bagian depan dari rahang bawah. Bagian yang
sama pada rahang atas tidak ada gigi tapi dilengkapi bantalan keras. Delapan
buah gigi seri susu atau tetap tumbuh berpasangan yaitu tengah, tengah dalam,
tengah luar dan sudut (Mestika dkk, 1993).
Table 1 : Pergantian Gigi Seri
Dihubungkan Dengan Umur Pada Ternak Kambing
No
|
Pergantian
pada Gigi Seri
|
Umur
(tahun)
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
Gigi seri belum ada yang berganti
(I₀)
Gigi seri dalam berganti (I₁)
Gigi seri tengah dalam berganti (I₂)
Gigi tengah luar berganti (I₃)
Gigi seri luar berganti, atau
semua gigi seri telah berganti (I₄)
|
Kurang
dari 1 tahun
1
- 1,5 tahun
1,5
- 2 tahun
2,5 - 3
tahun
3
- 4 tahun
|
Sumber : Sarwono (1994)
Rumus gigi =
·
Gigi seri ( I ) = Incesivi
·
Gigi taring ( C ) = Canini
·
Gigi geraham muka ( P ) = Premolaris
·
Gigi geraham belakang ( M ) =
Molaris
Pergantian dan pertumbuhan gigi seri kambing sangat teratur
waktunya. Gigi seri menggantikan gigi seri susu dengan bentuk yang lebih besar,
kuat dan warnanya lebih kekuningan. Berdasarkan pergantian dan pertumbuhan gigi
seri, umur kambing bisa ditentukan (Sosroamidjojo, 1985).
10. Seleksi Ternak
Seleksi dari segi genetik diartikan sebagai suatu tindakan untuk
membiarkan ternak-ternak tertentu berproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak
diberi kesempatan berproduksi.Ternak-ternak pada generasi tertentu bisa menjadi tetua pada
generasi selanjutnya jika terdapat dua
kekuatan. Kedua kekuatan itu adalah seleksi alam dan seleksi buatan (Noor, 2004).
Dasar pemilihan dan penyingkiran yang digunakan dalam seleksi
adalahmutu genetik seekor ternak.Mutu genetik ternak tidak tampak dari luar,
yang tampak dan dapat diukur dari luar adalah performanya.Performa ini sangat
ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan.Oleh karena itu,
harus dilakukan suatu pendugaan atau penaksiran terlebih dahulu terhadap mutu
genetiknya atas dasar performansnya.Metode seleksi dibagi menjadi tiga metode yang sederhana, yaitu:
Ø Seleksi individu (individual selection) adalah seleksi per
ternak sesuai dengan nilai fenotipe yang dimilikinya. Metode ini adalah yang
paling sederhana daripada umumnya dan menghasilkan respon seleksi yang cepat.
Ø Seleksi keluarga (family selection) adalah seleksi keluarga per
keluarga sebagai kesatuan unit sesuai dengan fenotip yang dimiliki oleh
keluarga yang bersangkutan. Individu tidak berperan dalam metode seleksi ini.
Ø Seleksi dalam keluarga (within-family selection) adalah seleksi
tiap individu di dalam keluarga berdasarkan nilai rata-rata fenotip dari
keluarga asal individu bersangkutan (Hardjosubroto, 1994).
Ternak yang mempunyai performa diatas dari performa yang telah ditentukan terlebih dahulu akan dipilihpadasaat melakukan seleksi, sedangkan yang lebih
rendah dariperformatadiakan disingkirkan.Ternakyangterpilihakanmemilikinilai rerata performa yang lebih tinggi dari
performa keseluruhan sebelum seleksi. Perbedaan antararerataperforma dari
ternakyangterseleksidenganrerataperformapopulasisebelum
seleksidisebut sebagai diferensial seleksi (selectiondifferential). Proporsi
daridiferensialseleksiyangdapat diwariskan kepada generasi berikutnya adalah hanya yang bersifat genetic saja yaitu sebesar angka pewarisannya (heritability).
Jadi, besarnya differensial seleksi yang diwariskan adalah sebesar h2S dan ini disebut sebagai tanggapan (respon) seleksi yang akanmuncul
pada generasi berikutnya (Widododan Hakim, 1981).
11. Sapi Perah
Sapi FH sangat menonjol karena banyaknya jumlah produksi
susu namun kadar lemaknya rendah, kapasitas perut besar sehingga mampu
menampung pakan banyak, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan
menjadi susu. Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil
persilangan antara sapi FH dengan sapi lokal, dengan ciri-ciri yang hampir
menyerupai FH tetapi
produksi susu relatif lebih rendah dari FH dan badannya
juga lebih kecil. Hasil dari persilangan tersebut mempunyai sifat
diantara kedua induknya, dimana pertambahan bobot badan cukup tinggi serta
mampu beradaptasi dengan lingkungan tropis secara baik
(Putra, 2009).
Memilih ternak berdasarkan visual berarti kita memilih
ternak berdasarkan sifat-sifat yang tampak.Memilih
bibit hampir sama dengan seleksi untuk tujuan produksi. Seleksi berdasarkan
visual ini biasa disebut dengan judging.Judging pada ternak dalam
arti yang luas adalah usaha yang dilakukan untuk menilai tingkatan ternak yang
memiliki karakteristik penting untuk tujuan-tujuan tertentu.Judging dalam arti sempit adalah referensi untuk pemberian penghargaan
tertentu dalam suatu kontes (Santoso, 2004).
Judging maupun
seleksi sapi perah dalam pengamatan berguna untuk menghubungkan antara tipenya
sebagai sapi perah yang baik dengan fungsi produksi susunya. Pemberian
deskripsi dalam penampilan sapi perah yang ideal biasanya menggunakan semacam
kartu skor yang disebut The Dairy Cow Unified Score Card. Kartu skor
tersebut dibagi menjadi 4 bagian utama yaitu: penampilan umum (30 nilai), sifat
sapi perah (20 nilai), kapasitas badan (20 nilai), sistem mammae (30 nilai)
(Blakely dan Blade, 1995).
Sapi perah yang berkualitas merupakan salah satu aspek utama
penentu keberhasilan usaha peternakan sapi perah.Membeli
sapi perah yang berkualitas sebaiknyapilih sapi perah yang memiliki keturunan
sapi perah jenis sapi dengan produktifitas susu tinggi 9 misalnya, keturunan
asli sapi FH. Sapi berkualitas juga harus memiliki tampilan ciri fisik khas
sapi perah yang baik, sehat (terutama sistem reproduksinya), dan bebas penyakit
yang menular. Berikut ini ciri fisik sapi perah yang sehat:
1. Tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit menular.
2.Dada lebar serta tulang rusuk panjang dan luas.
3. Ambing besar, memanjang kea rah perut, dan melebar sampai di
antara paha
4. Kondisi ambing lunak, elastik, dan diantara keempat kuartir
terdapat jeda yang cukup besar. Setelah diperah, ambing akanberlipatdan kempis, sedangkan sebelum
diperah mengembung dan besar.
5. Kaki kuat, tidak pincang dan jarak antara paha lebar.
6. Produksi susu, dengan laktasi pertama produksi susu minimum
20 liter.
7.Sapi perah yang berkualitas juga dapat melahirkan setiap
tahun sehingga dapat menghasilkan susu secara rutin setiap tahun (Kemal dan
Harianto, 2011).
BCS adalah nilai kondisi tubuh yangdidasarkan pada estimasi
visual timbunan lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang
punggung, tulang rusuk dan pinggul lemak, dapat digunakan untuk prediksi dini
status kesenjangan energi sapi perah selama awal laktasi.Penilaian kondisi
tubuh ternak, terutama untuk sapi perah di Indonesia masih jarang dilakukan
sehingga untuk kondisi peternakan sapi perah rakyat sangat penting (Wahiduddin,
2008).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil pengamatan
Penilaian
individu.
3.2 Pembahasan
Untuk mencari juara pada kontes ternak dilakukan
penghitungan dari data yng telah didapatkan di lapangan. Penghitungan untuk Penentuan sokr
pada kontes ternak melliputi penentuan nilai skor tertinggi ,skor tererendah, skor rata
rata. Perhitungan yang dilakukan dalam penilaian untuk menentukan skor yang tepat adalah
sebagai berikut :
Nilai maksimum(nilai
5) = nilai tertinggi pada 8 sapi
yang dinilai
Nilai mksimum
tinggi gumba = 128
Nilai mksimum
panjang badan = 102
Nilai mksimum
lingkar dada = 174
Nilai mksimum
lebar dada = 37
Nilai mksimum
dalm dada = 47
Nilai mksimum tinggi
pinggul = 122
Nilai maksimum
berat baan = 426
Nilai minimum
(nilai 1) =
nilai terendah
pada 8 spi yang dinilai
Nilai minimum
tinggi gumba = 110
Nilai minimum
panjang badan = 92
Nilai minimum
lingkar dada = 156
Nilai minimum
lebar dada = 20
Nilai minimum
dalam dada = 22
Nilai minimum
tinggi pinggul = 110
Nilai minimum
berat baan = 268
Nilai rata rata(nilai
3) = nilai tengah
pada nili 8 sapi yang dinilai
Nilai rata rata
tinggi gumba = 117,875
Nilai rata rata
panjang badan = 95,625
Nilai rata rata
lingkar dada = 162,375
Nilai rata rata
lebar dada = 23,875
Nilai rata rata
dalam dada = 29,37
Nilai rata rata
tinggi pinggul = 115
Nilai rata rata
berat baan = 327
Menentukan
nilai 2 =
nilai rata rata –()
Nilai
2 tinggi gumba = 117,875 - ( ) = 113,
9375
Nilai
2 panjang badan = 95,625 - ( ) = 93,8125
Nilai
2 lingkar dada = 162,375 - (
) = 159,1875
Nilai
2 lebar dada = 23,875 - (
) = 21,9375
Nilai
2 dalam dada = 29,37 - (
) = 25,685
Nilai
2 tinggi pinggul = 115 - ( ) = 112,5
Nilai
2 berat baan = 327 - (
) = 297,5
Nilai
4 tinggi gumba = 117,875 + ( ) = 122,9375
Nilai
4 panjang badan = 95,625 + ( ) = 98,8125
Nilai
4 lingkar dada = 162,375 + (
) = 168,1875
Nilai
4 lebar dada = 23,875 + (
) = 30,4375
Nilai
4 dalam dada = 29,37 + (
) = 38,185
Nilai
2 tinggi pinggul
= 115 + ( ) = 118,5
Nilai
2 berat baan = 327 + (
) = 376,5
Pada kontes ternak, hal yang dinilai dan
diukur berupa 60% sifat kuantitatif ternak dan 40% sifat kualitatif ternak.
Yang termasuk sifat kualitatif meliputi kondisi kepala dan ekor, warna
kulit,dada dan punggung, pinggang dan pinggul, paha dan kaki, keharmonisan
bentuk, dan bentuk ambing karena ternak yang dinilai merupakan ternak perah.
Sedangkan nilai kuantitatif meliputi tinggi gumba, panjang badan, lingkar dada,
lebar dada, dalam dada, tinggi pinggul, dan berat badan.
Dari hasil yang kami dapatkan dalam penilaian sapi di
kontes ternak yang kamia adakan diperoleh juara 1 dengan total skor diperoleh
oleh sapi, juara 2 dengan total skor diperoleh oleh sapi, dan juara 3 dengan
skor diperoleh oleh sapi.
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari praktikum
yang kami lakukan dapat diambil kesimpulan bahwa:
a.
Untuk dapat menilai
ternak kita harus menilai sifat kualitatif dan kuantitatif dari suatu ternak.
b.
Sifat kualitatif
pada trnak meliputi kepala dan ekor, warna kulit, dada dan punggung, pinggang
dan pinggul, paha dan kaki, keharmonisan bentuk badan dan keadaan ambing.
c.
Yang termasuk sifat
kuantitatif pada ternak meliputi tinggi gumba, panjang badan, lingkar dada,
lebar dada, dalam dada, tinggi pinggul dan berat badan pada ternak tersebut.
d.
Penilaian dan
penjurian dalam kontes ternak didasarkan pada nilai kualitatif dan kuantitatif
ternak yang telah didapatkan di lapangan.
e.
Penentuan juara
pada kontes ternak berdasarkan penjumlahan antara nilai kualitatif ternak dan
kuantitatif ternak kemudian nilai perolehan penjumlahan yang tertinggi dapat
dijadikan sebagai juara pada kontes ternak tersebut.
4.2 Saran
a.
Sebaiknya praktikum
ini dilakukan pada kegiatan kontes ternak yang sebenarnya.
b.
Waktu pelaksanaan
praktikum sebaiknya dilakukan lebih awal untuk mengefisienkan waktu yang
dibutuhkan dalam pengolahan data kontes ternak yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, A.L and R. Kisser. 1963.
Introduction Animal Science. The Mac Milon Co, New York.
Anggorodi, R. 1984. Ilmu Peternakan
Umum. PT. Gramedia, Jakarta.Bandini, Y. 1997. Sapi Bali. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Devendra, C. 1974. Studien in
Nutrition of the Indigenous Goat of Malaya III.The Requerment for Live-Weight Gain. Malaysian
Agricultural Journal 46, 98-118.
Forrest, J.C., E.D. Aberle. H.B.
Hedrick, M.D. Judge and R.A. Markel. 1975. Principle of Meat. Sience. W. H.
Freeman and Company. San Fransisco.
Holmes, J.H.G., S. Prasetyo., H.M.
Miller and E.A. Scheurman. 1982. The effect
of heat and humidikon pregnant
forsal goats. J. Anim. Production In Australia. Vol. 15:541 – 544.
Maynard, L. A and J.K. Lossly. 1956.
Animal Nutrition. Mc. Graw Hill Company Ltd. New
Delhi.
Mestika, I.M. Komang Gede Suryana, I
Gusti Lanang Oka, dan Ida Bagus Sutrisna. 1993.
Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
Mosher, A. T. 1965 Cuting
Agricultural Moving Essential for Development and Modernization.Frendich Proger Publisher, New York.
Mulyana, Wahyu. 1982. Cara Beternak
Kambing. Pusdiklat BPLPP Deptan, Jakarta.
Natasasmita, CH. Lenggu, P.H.
Hutabarat, P. Suparman, D. Supandi, H.H.Achmad dan R. S. Martodikusumo. 1970
Case Study Production Pemotongan Ternak Daging Fakultas Peternakan IPB dan
Direktorat Jendral Peternakan,Departemen Pertanian, Jakarta.
________________. 1979. Ternak
Kambing dan Pemeliharaannya. Fakultas PeternakanInstitut Pertanian Bogor,
Bogor.
Parakkasi, A. 1998.Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia,Jakarta.
Rangkuti, M. 1989. Pedoman Praktis
Beternak Kambing dan Domba Sebagai Ternak Potong. Kasinus, Yogyakarta.
Rumich, B., 1967. The Goat of Indonesia. FAO Region Office,
Bangkok.
Santosa, U. 1995. Tata Laksana
Pemeliharaan Ternak. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Santoso, RD dan Mustajab, HK, 1992.
Analisa Regresi. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Sarwono, B. 1991. Beternak Kambing
Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soedjai, A. 1975. Beternak Kambing.
Seri Indonesia Membangun No. 14. Penerbit N. V Masa Baru, Bandung.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi
Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
________.
2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sumaprastowo, T. 1980. Beternak
Kambing yang berhasil. Baharata Karya Aksara,Jakarta.
Sosroamidjojo, M, Samad. 1973.
Peternakan Umum. Penerbit CV. Yasaguna, Jakarta.
_________________. 1985. Ternak
Potong dan Kerja.Cetakan ke-10. Yasaguna, Jakarta.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1995.
Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik
Edisi 2 Cetakan 2. Alih bahasa B. Sumatri. PT. Gramedia PustakaUtama, Jakarta.
Sudjana 1975. Metoda Statistika. Penerbit Tarsito, Bandung.
Williamson, G dan W.J.A Payne
1993.Pengantar peternakan di daerah tropis. Cetakan
pertama. Terjemahan SGN. D. Dan Madja. Gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta.
Yeates, N.T.M. T.N. Edey dan M.K. Hill. 1975. Animal
Science. Reproduction, ClimateMeat, Wool. Pergamon Press. Oxford, New York,
Toronto, Sidney.
Blakely, J dan Bade, D. H. 1995.Ilmu Peternakan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Harjosubroto.1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan.PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Kemal, S. E. dan Harianto, B.2011.Beternak dan Bisnis Sapi Perah.PT
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Noor, R. 2004. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Putra, A. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih Pada Usaha
Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus Pemerahan Susu Moeria Kudus Jawa Tengah).
UNDIP. Semarang.
Santosa, B. A. 2004. Buku Petunjuk Praktikum Produksi
Ternak Perah. FakultasPeternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Wahiduddin,
M. 2008. Manajemen Sapi Perah pada Peternakan Rakyat. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Widodo, W. Dan L. Hakim. 1981. Pemuliaan Ternak. Lembaga
Penerbitan Universitas Brawijaya. Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar